Beranda > Artikel bebas, Change, Diary, Jurnalisme, Ngeblog > Susahnya Menjadi Penulis

Susahnya Menjadi Penulis

Menulis, hobi ini mulai kugemari akhir-akhir ini. Selain menulis di blog ku sendiri, aku juga rajin mengirimkan artikel atau opiniku ke surat kabar nasional maupun lokal, majalah, maupun hanya sekedar diskusi di milis-milis. Meski lebih banyak ditolaknya daripada dimuat, namun ada kebanggaan tersendiri ketika pemikiranku bisa tertuang di lembaran kertas. Dan aku akan sangat senang lagi ketika tulisanku ternyata dihargai dengan memuatnya di media tersebut.

Semakin hari kugeluti hobi ini, maka semakin hari pula kusadari bahwa banyak tanggung jawab sosial dan moral yang harus ditanggung oleh si penulis. Beberapa kali tulisanku dikritik pedas oleh para pembaca, bahkan ada yang mengolok-olokku di dunia maya. Belum lagi yang mengancam, dan lain sebagainya. Bahkan pernah kritik begitu pedasnya, sampai-sampai blog ini ku opname sementara waktu. Ya begitulah pahitnya jadi seorang penulis. Namun aku bersyukur dari kritik itu, karena aku banyak belajar darinya.

Dari beberapa kasus itu aku menjadi semakin belajar mempertanggung jawabkan karyaku, mulai dari validitas tulisan, sampai kepada ketepatan kandungan materi tulisan. Bahkan tak sedikit pembaca yang memberikan komentar sinis kepadaku hanya karena tulisanku sedikit menyerempet ke ranah publik.

Bukan maksud hati sebenarnya menjelekkan sesorang atau institusi atau apapun itu. Namun aku tidak bisa membendung keinginan hati ini, karena terus terang tulisanku lahir dari hatiku. Semakin ku dekat dengan kondisi real kehidupan ini semakin hatiku gusar dan gundah. Ketika hati ini ingin bicara akupun tak sanggup membungkamnya.

Secara teknik penulisan aku memang menyadari masih jauh dari sempurna, sertifikat pendidikan dasar jurnalistik yang kumiliki ternyata tidak cukup mengakomodir kebutuhan akan suatu tulisan yang indah dan representatif. Aku tidak akan pernah berhenti belajar untuk itu.

Dari semangat menulis ini pula aku menjadi memiliki semangat mencari pengetahuan yang lebih luas lagi. Horizon dan cakrawala berpikirku harus semakin ku perlebar. Menjadi penulis berati juga menjadi pengamat, pengamat identik dengan orang yang banyak omong doang. Itulah yang ingin kutepis, aku ingin tulisanku benar-benar mencerminkan kondisi real.

Semoga.

  1. Dahlia Dalimunthe
    Mei 23, 2008 pukul 3:56 am

    Halo ito ku yang kusayangi aku boru Dalimunthe ( Munte ) yang merantau ke Tapsel senangnya bisa bertemu dengan sesama parna

  2. Harry Simbolon
    Mei 23, 2008 pukul 4:19 am

    Halo juga ito, senang juga bisa bertemu denganmu. Tinggal dimana skrg to?

  3. Mei 27, 2008 pukul 2:28 am

    Saya berpendapat sedikit beda. Menulis itu justru sangat mudah Lae. Tulis saja sesuka hati. Bahasa Medan: suka-suka. Yang penting kita tidak melanggar hukum dan melawan hati nurani! 🙂

    Horas,
    Daniel Harahap

  4. Harry Simbolon
    Mei 27, 2008 pukul 2:18 pm

    @ Amang Pdt. DTA
    Thx amang sudah mamapir ke blog ecek-ecekku ini. aku perhatikan di Statistik blog banyak orang berkunjung ke blogku ini dengan mengklik link dari Blog amang. Thx 4 it.

    Iya nih amang Pdt, aku juga sudah kepincut dengan dunia tulis menulis, bahkan sudah semakin “suka-suka”. Mudah-mudahan bisa terus konsisten. Bahkan ingin sekali menulis topik teologia.

    Thx atas masukannya amang. GBU

  5. Mula Harahap
    Juni 4, 2008 pukul 3:29 am

    Kepada anak-anak saya, saya selalu mengatakan: menulis, menulis, menulis! Menulis itu adalah sebuah proses pelepasan dan pembebasan. Kalau hati sedang kalut dan pikiran sedang suntuk, keluarkanlah dalam bentuk tulisan. Kalau pikiran dan perasaan yang tidak karu-karuan itu hanya dikubur di dalam pikiran bawah sadar, maka itulah yang membuat kita gila.

    Karena itu juga kepada anak-anak sering saya katakan, “Mungkin kau tidak akan dapat honor dari tulisan-tulisan tersebut. Tapi kalau nanti kau stress, dan Bapak terpaksa harus membawamu ke psikolog atau psikiater, maka dari tulisan-tulisanmu para dokter bisa segera mendapatkan “clue” apa yang menyebabkan kau begitu, dan penanganannya menjadi lebih mudah….” 🙂 Dan saya pernah mengalami hal itu: ada kenalan yang mengalami mental break-down dan terpaksa dibawa ke Prof. Dr. Kandow di Bagian Psikiatri RS Carolus. Dalam waktu kurang dari 1 bulan dia langsung sembuh, karena dia meninggalkan banyak “corean-coretan”.

    Jadi, menulislah, tentang apa saja yang ada di dalam piiran dan hatimu.

    Harry: terimakasih amang pendeta buat masukannya

  6. Juni 12, 2008 pukul 1:06 am

    Semangat ito.. Teruslah menulis, karena tak semua orang punya talenta itu.

    Aku sendiri bukan seorang penulis. Aku hanya seseorang yang sejak remaja suka sekali menulis diary..
    Dan lewt tulisan2 di diary ku itu aku merasa banyak sekali bertumbuh. Baik dalam hal perkembangan kepribadian, rohani, dll.

    Apalagi ito yang sudah mampu “menerobos” keluar. Ke media cetak dan berusaha mengeluarkan opini2 yang ada dipikiran.
    So, Tetap semangat ya to.
    Emang tantangan di luar semakin besar, tapi semoga ito gak menyerah 🙂

    Harry: Iya nih to, sudah hampir sebulan ini aku tidak sempat menulis, karena kesibukan pekerjaanku, dan juga persiapan thesis ku. doain lah ya to.. agar selalau punya waktu dan niat untuk menulis. kalau di pikiranku ini sih banyak banget yang ingin kutulis.

    Tengkyu ya to

  7. Juni 18, 2008 pukul 6:47 am

    ayo menulis! duh…. aku bingung ni mau nyoba ngirim artikel. btw, jumlah karakter untuk satu artikel berapa sih? paling cepat, artikelmu dimuat nunggu berapa hari? mungkin nggak, kalo sehari langsung dimuat?

    Harry: Jumlah Karakter tergantung koran atau majalahnya mas, ada yang meminta maksimum 3000 karakter ada yang 5000 karakter. mungkin saja langsung dimuat jika dan hanya jika topik tulisana sangat tepat dengan tema utama yang hangat pada waktu itu. rata-rata opini yang ditampilkan di kompas itu malamnya kok diterima mereka.
    Biasanya juga semakin sering kita mengirim opini, nama kita akan dikenal oleh redaksi sehinbgga, redaksi tahu dan kenal dengan gaya menulis kita. so.. kirim kirim dan kirim terus…

  1. No trackbacks yet.

Tinggalkan Balasan ke Mula Harahap Batalkan balasan