Beranda > Adat, Batak, Opini > Trio Medan

Trio Medan

September 2001 adalah awal aku menginjakkan kaki di Lampung. Aku di terima di Universitas Lampung (“Unila”). Unila adalah pilihan ketigaku dalam UMPTN, mau dibilang apa lagi aku hanya bisa lulus disini, meski aku berharap tahun depan bisa ikut UMPTN lagi tuk mencoba peruntungan di Universitas top di Pulau Jawa seperti pilihan pertama dan keduaku yang tak lulus itu.

Hari pertama Program Orientasi Mahasiswa adalah saat dimana aku berkenalan dengan teman-teman sejurusan di angkatanku. Disinilah aku bertemu langsung dengan dua orang Batak yang telah kutahu sebelumnya kalau mereka juga diterima disini melalui koran pengumuman UMPTN, seorang lagi nama Batak di koran itu yang juga adalah teman SMPku lebih memilih kuliah di universitas swasta di Medan. Kedua orang itu adalah Saut Sitorus dan Yosep Purba. Saut berasal dari Porsea dan menamatkan SMAnya dari SMA plus Matauli Sibolga, Yosep berasal dari Tanjung Balai, sudah sempat mencicipi program farmasi USU selama setahun namun ingin menjadi akuntan makanya ia ikut UMPTN lagi.

Kesamaan daerah asal membuat kami menjadi cepat akrab dan bersahabat, apalagi kami menjadi anak kost di daerah yang sama di belakang kampus. Kami bertiga sama-sama menyukai sepak bola, karena inilah kami dijuluki oleh teman teman seangkatan sebagai trio Medan, plesetan dari trio Belanda yang sangat fenomenal itu. Uniknya lagi kami memiliki posisi yang hampir sama dengan trio Belanda itu. Aku selalu bermain sebagi striker layaknya Van Basten, Saut kadang bermain di sayap tapi lebih sering juga sebagai gelandang serang seperti Ruud Gulit, sedangkan Yosep meski dia ahli bertahan namun sering juga membantu serangan seperti layaknya Frank Rijkaard.

Sebenarnya ada lagi satu orang pria Batak lainnya di angkatan kami, namanya Budi Siregar, namun dia bukan Batak tulen. Ayahnya adalah keturunan Cina sedangkan Ibunya boru Pardede. Marga Siregarnya itu adalah pemberian secara adat. Meski ia bergereja di HKBP namun ia tidak mengenal baik adat dan budaya Batak, apalagi bahasa Batak. Dalam sepak bola si Budi ga jelas juga posisinya, kadang menyerang, kadang bertahan, tapi staminanya cukup fit untuk mengejar-ngejar bola karena dia adalah pemegang sabuk hitam Taekwondo.

Dalam bola kami memang trio Medan, namun dalam pergaulan sehari-hari kami adalah kwartet. Apalagi dalam mata kuliah agama Kristen kami menjadi satu kelompok diskusi, selanjutnya kami menjadi satu kelompok kecil, yang merupakan kelompok pembinaan kekristenan dibawah lembaga pelayanan Perkantas. Selama kami menghabiskan masa mahasiswa di Unila kami berempat adalah sahabat karib.

Sangkin asiknya aku menikmati masa mahasiswaku di Unila ini, tentunya dengan teman-temanku yang unik itu, sampai-sampai aku lupa atau bahkan tidak tertarik lagi untuk tes UMPTN lagi. Kuliah dimana saja sama kok, karena mempelajari bidang studi yang sama, bedanya hanya kemasan dan stempelnya saja, pikirku.

Akulah dari kami berempat yang pertama sekali meninggalkan Unila karena aku lulus duluan dari mereka, setelah itu disusul Yosep, Saut dan terakhir Budi. Aku, Saut & Yosep sekarang menetap di Jakarta dan sekitarnya, sedangkan Budi masih studi lanjut di UGM Yogyakarta. Jadilah kami tetap trio Medan sampai sekarang. Dan jika pun si Budi akhirnya memilih untuk tinggal dan bekerja di Jakarta nantinya alangkah baiknya, karena kami akan kembali menjadi kwartet lagi. Sehingga kami bisa ber kelompok kecil lagi.

  1. Belum ada komentar.
  1. No trackbacks yet.

Tinggalkan komentar